Tentara Madura |
Sejak jaman dahulu kala, orang-orang
Madura memiliki semangat untuk melawan segala bentuk penindasan dan penjajahan
baik yang dilakukan oleh kekuasaan dan kekuatan dari luar. Ha tersebut dapat
kita ketahui baik dari legenda-legenda yang berkembang di kalangan rakyat
Madura maupun buku-buku/tulisan-tulisan dan laporan-laporan penguasa yang
pernah memerintah Pulau Madura.
1. Menurut cerita jaman kuno (± abad
pertama Masehi), yang ditulis diatas daun
lontar, pada suatu saat kerajaan
Mendangkawulan kedatangan musuh dari negeri Cina. Didalam peperangan tersebut
Mendangkawulan berkali-kali menderita kekalahan, sehingga kedatangan seorang
yang sangat tua dan berkata bahwa di Pulau Madu Oro (Madura) bertempat tinggal
anak muda bernama Raden Segoro (Segoro = laut). Raja dianjurkan minta bantuan
kepada Raden Segoro jika didalam peperangan ingin menang. Raden Segoro
berangkat dengan membawa senjata Si Nengolo dan berperanglah untuk mengusir
tentara Cina. Tentara musuh banyak yang tewas dan kerajaan Mendangkawulan
menang dalam peperangan.
2. Cerita lain tentang kepahlawanan
oerang-orang Madura, ialah terjadi sekitar berdirinya kerajaan Majapahit dalam
abad ke 13, orang Maduralah yang membuka hutan Tarik dan mendapat bauh maja
yang pahit, sehingga daerah baru tersebut disebut Majapahit. Tokoh-tokoh Madura
diantaranya ialah Wiraraja, Lembu Sora, Ranggalawe, yang membantu Raden Wijaya
sehingga mencapai punjak keberhasilannya dalam mendirikan kerajaan. Sewaktu
Raden Wijaya dikejar oleh tentara Jayakatwang dan kerajaan Singosari runtuh, ia
mengungsi ke Sumenep minta perlindungan dan bantuan kepada Raden Wiraraja dan
sang Adipati Madura inilah yang menyusun rencana agar Raden Wijaya pewaris
tahtakerajaan Singosari dapat kembali berkuasa. Memang Wiraraja atau yang
disebut Banyak Wide adalah aktor intelektualitas yang memenangkan perang
terhadap tentara Tartar yang dikirim oleh Kubelai Khan untuk menaklukkan
kerajaan Jawa. Tentara Tartar mengalahkan kerajaan Jayakatwang Kediri,tetapi
tentara Tartar ini pula dihancurkan oleh Raden Wijaya dengan bantuan
orang-orang Madura yang bersemangat tinggi dalam berperang untuk mengusir musuh.
3. Peristiwa lain terjadi disekitar
abad ke 15, ketika Dempo Awang (Sam Poo Tualang) seorang Panglima Perang dari
Negeri Cina nenunjukkan kekuasaannya kepada raja-raja di Jawa dan Madura, agar
mereka tunduk kepadanya. Didalam peperangan itu, Jokotole dari Madura melawan
Dempo Awang yang menaiki kapal layar yang dapatberlayar di laut, diatas gunung
diantara bumi dan langit. Demikian menurut cerita legenda. Didalam peperangan
itu Jokotole mengendarai Kuda Terbang, pada suatu saat setelah ia mendengar suara
dari pamannya (Adirasa), yang berkata "pukul", maka Jokotole menahan
kekang kudanya dengan keras dan ia menoleh sambil memukul cemeti (cambuknya)
mengenai musuhnya sehingga hancur luluh jatuh berantakan Menurut kepercayaan
orang bahwa kapal Dampo Awang tersebut hancur luluh ketanah tepat di atas
Bancaran (artinya, bâncarlaan), Bangkalan. Sementara Piring Dampo Awang jatuh
di Ujung Piring yang sekarang menjadi nama desa di Kecamatan Kota Bangkalan.
Sedangkan jangkarnya jatuh di Desa/Kecamatan Socah. Dan menurut cerita bahwa
Sam Poo Tualang tersebut adalah seorang Laksamana Cina yang bernama Cheng Hoo.
4. Sewaktu Sultan Agung memimpin
Mataram, Ia menjalankan politik pemerintahan untuk mempersatukan Jawa dan
Madura, bahkan ingin mempersatukan seluruh kepulauan Nusantara, agar Kompeni
sukar melebarkan sayapnya. Karena itu Sultan Agung kadang-kadang menjalankan
politik kekerasan. Dalam tahun 1614 Surabaya ditaklukkakn, demikian pula
Pasuruan dan Tuban. Akhirnya dalam tahun 1624, Madura mendapat giliran. Pendekatan
yang kurang bijaksana menimbulkan peperangan yang dahsyat. Tentara Madura yang
berjumlah 2.000 orang melawan pasukan Mataram yang berjumlah 50.000 orang.
Perjuangan Rakyat Madura menunjukkan keberanian yang luar biasa, baik pria
maupun wanita maju ke garis depan. Sebanyak 6.000 orang tentara Mataram dapat
ditewaskan, tetapi Sultan Agung tidak putus asa, yang gugur segera diganti.
Akhirnya Madura dapat ditaklukkan. Satu-satunya keturunan raja Madura yang
masih hidup adalah Raden Praseno yang masih belum dewasa. Ia dibawa ke Mataram
oleh Sultan Agung dan setelh dewasa dikawinkan dengan salah seorang putri adik
Raja Mataram.
Dalam jaman Sultan Agung, Mataram
ditakuti oleh Kompeni Belanda, tetapi setelah Amangkurat I berkuasa, Kompeni
menjalankan politik pecah belah dan Amangkurat I tidak mempunyai kewibawaan.
Pangeran Alit (adiknya sendiri) dicurigai dan diperintahkan untuk ditangkap dan
dibunuh. Raden Maluyo ayah dari Trunojoyo juga menjadi korman. Akhirnya juga
Cakraningrat I (Raden Praseno), penasehat umum kerajaan menjadi korban
pembersihan. Trunojoyo maju ke depan hanya karena terdorong untuk membasmi
ketidakadilan, kemungkaran dan anti penjajahan. Bukan kekuasaan dan kedudukan
yang menjadi tujuan hidup Trunojoyo, dan ini terbukti waktu mahkota kerajaan
Majapahit ada ditangan kekuasaannya. Mahkota ini secara turun-temurun jatuh
ketangan raja-raja yang menguasai Jawa. Trunojoyo tidak pernah menempatkan
mahkota Majapahit diatas kepalanya, pun juga tidak pernah menamakan dirinya
sebagai Sesuhunan. Mahkota yang ada ditangannya dikembalikan kepada Susuhunan,
asal saja Susuhunan mau ke Kediri dengan tidak berteman dengan Belanda (artinya
: Amangkurat II diminta untuk memutuskan hubungannya dengan Belanda).
5. Dalam abad ke 18 Kompeni Belanda
mengadakan pembatasan-pembatasan serta penindasan-penindasan yang makin
merajalela terhadap kekuasaan raja-raja dan rakyat Madura, sehingga di Madura
Barat telah terjadi suatu perlawanan yang dipimpin oleh Cakraningrat IV. Tetapi
perlawanan tersebut dapat dipatahkan karena Kompeni mendatangkan bala bantuan
dari Batavia. Cakraningrat IV terus menyingkir ke Banjarmasin, tetapi akhirnya
tertangkap pula disana, Cakraningrat IV terus dikirim ke Kaap de Goede Hoop,
dan ia meninggal dunia disana pada tahun 1759. Orang Madura memberinya nama
Pangeran Sidengkap, karena Cakraningrat IV meninggal dunia di tempat
pengasingannya yakni Kaap de Goede Hoop.
6. Dalam masa pemerintahan Jepang,
sejak tanggal 18 Agustus 1942, kekejaman tentara Jepang yang menginjak-nginjak
nilai dan martabat rakyat Madura, serta keangkaramurkaannyatelah menimbulkan
penderitaan yang membebani rakyat, sehingga ada tahun 1943 telah berkobar suatu
pemberontakandi Desa Prajan, Sampang yang dipimpin pesantren setempat. Kemudian
ia dan serta pemimpin-pemimpin pesantren lainnya ditangkap dan ditembak mati.
Akhirnya atas campur tangan Panglima Tentara Jepang (Seiko Sisikan) di Jakarta,
mereka yang masih ditahan dibebaskan kembali dan pembantaian lebih lanjut dapat
dihentikan.
Dikutip dari :
Buku Perjuangan Kemerdekaan Republik
Indonesia di Madura
(Agus Lempar)
Posting Komentar