Kerisauan berbagai pihak, terutama
kalangan budayawan, atas nasib budaya dan bahasa ibu ini didasarkan atas
kesadaran, kedua hal tersebut memuat nilai-nilai signifikan dalam pembentukan
karakter dan kepribadian seseorang.
Ajip Rosidi (Suara Merdeka,
26/2/2007), sastrawan dan penggagas Hadiah Rancage, menegaskan, anak-anak
belajar memahami dunia dan lingkungannya melalui bahasa ibu. Bahasa ibu
menancapkan nilai-nilai dan norma yang kemudian berakar kuat pada diri seseorang.
Seperti disinyalir Ajip Rosidi,
generasi mutakhir Indonesia saat ini bahasa ibunya adalah bahasa Indonesia. Ini
terutama banyak ditemukan di kota-kota besar. Afrizal Malna, penyair
kontemporer Indonesia, memberikan pengakuan yang cukup menarik disimak. Bagi
penyair kelahiran Jakarta itu, bahasa Indonesia yang menjadi bahasa ibunya
”telah kehilangan akal budayanya dan diterima hanya sebagai alat komunikasi dan
politik penyatuan” (Afrizal, 2002: 68-70).
Ada nuansa keterasingan yang terekam
karena nilai-nilai kebudayaan yang tersimpan dalam bahasa Indonesia tak pernah
bisa akrab dengannya. Ada catatan kerinduan atas bahasa ibu dan khazanah
kebudayaan yang dikandungnya, yang ternyata tak dimiliki oleh bahasa Indonesia.
Kasus di Madura
Dalam konteks kebudayaan Madura, ada
satu contoh mutakhir tentang meredupnya bahasa Madura. Awal 2008 ini, Lomba
Cipta dan Baca Puisi Madura yang digelar Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan
Universitas Wiraraja Sumenep ternyata hanya diikuti 17 peserta.
Terkait dengan itu, Achmad Zaini
Makmun, Staf Ahli Balai Bahasa Surabaya, semakin yakin dengan hasil riset yang
memprediksi bahwa bahasa Madura akan musnah pada tahun 2024. Hal itu akan
ditandai dengan hilangnya apresiasi dan kepemilikan warga Madura terhadap
bahasa ibunya.
Tiga Masalah Utama
Menurut penulis, setidaknya ada tiga
masalah utama dalam proses pemudaran bahasa ibu ini. Pertama, masalah
dokumentasi yang ditandai oleh tidak cukup banyaknya dokumentasi tentang bahasa
Madura yang ditulis dengan rapi, baik, dan dapat diakes secara luas, baik dalam
bentuk kamus maupun karya kesusastraan pada umumnya. Menurut Prof Mien, sampai
saat ini berbagai karya literer Madura, seperti Trunojoyo, Joko Tole, Ke’
Lesap, dan Bindara Saud, belum tertuang dalam buku sastra yang standar.
Andai kata sudah ada upaya dan
produk yang terdokumentasi, lalu ke mana sebenarnya arah pemanfaatan khazanah
bahasa Madura tersebut untuk konteks kekinian?
Di zaman dengan kemajuan ilmu dan
teknologi luar biasa seperti saat ini, terlihat jelas betapa bahasa ibu seperti
bahasa Madura tak cukup kredibel berperan sebagai penyampai kemajuan-kemajuan
itu. Sebenarnya cukup menarik untuk melihat peran pesantren tradisional (atau
pesantren 'salaf') di Madura yang hingga saat ini menggunakan bahasa Madura
sebagai bahasa pengantar utama dalam pengajaran kitab kuning. Bagi sebagian
mereka, bahasa Madura bahkan dipandang lebih lengkap dan komprehensif
menggambarkan status gramatikal struktur bahasa Arab dalam kitab kuning yang
diajarkan dibandingkan dengan bahasa lain.
Akan tetapi, saat ini banyak
pesantren di Madura mengalami transformasi kelembagaan (pendidikan) yang cukup
menarik untuk diamati sehingga lambat laun penggunaan bahasa Madura dalam
pengajaran kitab kuning atau sebagai bahasa pengantar mulai merosot. Banyak pesantren
mengadopsi begitu saja sistem pendidikan nasional yang notabene tidak berbasis
bahasa ibu. Kecenderungan kuat ini sungguh telah melemahkan peran pesantren
dalam melestarikan bahasa Madura.
Hal penting lain: parahnya kedudukan
karya terjemahan kitab-kitab kuning ke dalam bahasa Madura yang ditulis dengan
huruf Arab pegon dalam dunia percetakan. Banyak karya jenis ini yang dicetak
dengan kemasan amat sederhana dan dijual dengan harga cukup murah.
Seperti cetakan karya-karya bernilai
dari Kiai Abdul Madjid Tamim (Pamekasan), Kiai Umar Faruq (Bangkalan), Kiai
Muhammad Nur Muniri Isma’ili (Pamekasan), dan sebagainya. Bahkan, beberapa
karya kiai ternama, Kiai Habibullah Rais (Sumenep), harus dicetak dan
didistribusikan sendiri. Hal ini seperti sebuah proses pemusnahan yang
berlangsung sistemik dan sistematis.
Dalam Kesenian
Peran penting lain pesantren dalam
pelestarian bahasa Madura ada pada pengembangan sastra Madura, khususnya pada
bentuk syi’ir, salah satu bentuk puisi Arab yang lazim digubah di kalangan
santri atau kiai.
D Zawawi Imron (1989: 194-198)
mencatat, sebenarnya ada beberapa syi’ir Madura yang pernah diterbitkan. Namun,
sayang, dokumentasi syi’ir Madura itu saat ini nyaris tak dapat ditemukan lagi,
antara lain karena dokumentasi tidak dilakukan dengan cukup baik, bahkan oleh
penggubahnya.
Akhirnya, masalah ketiga bahasa
Madura ada di soal kelembagaan. Siapakah secara kelembagaan yang dapat berperan
aktif untuk mengupayakan pelestarian bahasa dan sastra Madura? Berbagai lembaga
sosial di masyarakat, seperti digambarkan di atas, semisal pesantren atau seni
tradisi, ternyata tak cukup memiliki daya tahan kuat untuk memaksimalkan
pemanfaatan bahasa dan sastra Madura.
Sementara itu, pemerintah cenderung
memperlakukan kekayaan khazanah budaya lokal dalam paradigma pariwisata, yang
sesungguhnya hanya selimut dari proses peminggiran.
Kini tinggal mengharap Kongres
Bahasa Madura dapat segera terlaksana. Di ajang itu berbagai persoalan dapat
dibicarakan secara mendalam sehingga bahasa Madura yang digunakan oleh lebih
dari 13 juta penutur itu tak tinggal hanya jadi sejarah, pengisi kertas yang
kian menguning...(Agus Lempar)
Posting Komentar