Daerah Madura adalah salah satu daerah yang ada di Wilayah Jawa Timur
bagian timur dimana penduduknya sebagai petani yang bekerja keras karena
tanahnya mengandung zat kapur dan berbatu karena dari barat hingga ke wilayah
timur secara memanjang terdiri dari tanah pegunungan. Sedangkan penduduk yang
berada di wilayah pesisir disamping sebagai petani, juga sebagai nelayan yang
tangguh. Karena walau mempergunakan perahu tradisional mereka sanggup
mengarungi lautan hingga ke manca negara.
Diceritakan pada zaman dahulu kala pulau Madura hanya terlihat berupa
gundukan-gundukan tanah yang menghijau. Gundukan-gundukan itu terlihat seakan
terpisah karena tanah dataran rendah dikala itu dikala air laut pasang dataran
itu tidak kelihatan dan disaat air laut surut tanah rendah itu kelihatan.
Dari sebab itulah ada sebuah cerita yang mengatakan bahwa asal nama
dari pulau Madura berasal dari perkataan " Lemah Dhuro ” artinya tanah
yang tidak sesungguhnya, Yaitu mempunyai hubungan dengan keadaan pulau tersebut
bila mana air laut surut tanahnya kelihatan dan apabila air laut pasang
tanahnya tidak kelihatan.
Orang yang pertama kali bertempat tinggal di pulau Madura seperti yang
telah diceritakan di dalam buku babat Madura yang telah ditulis oleh
orang-orang terdahulu seperti oleh Zainal Fatah dan ditulis kembali oleh Dr.
Abdurrahman, menceritakan bahwa pada zaman dahulu sekitar tahun 929 Masehi, di
tanah Jawa yang menurut orang Madura diperkirakan di daerah dekat gunung Semeru
didekat puncak yang bernama gunung Bromo, berdirilah sebuah negara
"Medang" (Lain orang menyebutnya "Medangkamulan")
Di negeri itu berdirilah sebuah keraton bernama “Giling Wesi".
Rajanya bernama "Sanghyang Tunggal" dan mempunyai seorang putri yang
masih gadis. Pada suatu malam sang putri bermimpi kemasukan bulan dari mulut
hingga ke dalam perutnya. Ternyata setelah selang beberapa bulan kemudian sang
putri menjadi Hamil. Setelah ditanya oleh ayahandanya dan ditanyakan asal
mulanya dengan siapakah ia berbuat hingga hamil, sang putri tidak dapat
menjawab karena sang putri sendiri kebingungan harus menjawab apa kepada
ayahandanya.
Akhirnya sang raja memanggil sang pepatih yang bernama
"Pranggulang", ia diperintahkan untuk membawa sang putri ke hutan
untuk dibunuh. Dan sang patih tidak diperkenankan kembali ke keraton dan tidak
diperkenankan menghadap raja bahkan tidak akan diakui sebagai patih lagi jika
tidak dapat memperlihatkan bahwa sang putri telah mati terbunuh dengan
menunjukkan kepala sang putri.
Patih Pranggulang segera melaksanakan segala apa yang dititahkan sang
rajanya. Beliau segera membawa sang putri ketengah hutan rimba. Sesampainya di
tengah hutan rimba dengan pedang terhunus sang patih rnengayunkan pedangnya
keleher sang putri. Sang putri dalam keadan pasrah diri ternyata pedang sang
patih jatuh ke tanah. Diulanginya hingga tiga kali, pedang hampir mendekati
leher sang putri, pedang tersebut jatuh ketanah seakan tangan sang patih
Pranggulang tak mampu memegangnya.
Akhirnya patih Pranggulang duduk termenung berfikir mengapa hal ini
bisa terjadi. Kemudian patih Pranggulang timbul suatu keyakinan bahwa sang
putri hamil bukan kesalahan sang putri, akan tetapi ada hal yang luar biasa.
Akhirnya sang patih berkata kepada sang putri bahwa setelah mencoba tiga kali
semestinya leher sang putri telah putus akan tetapi belum pastinya sang putri
mati. Oleh karena itu patih Pranggulang memutuskan untuk mengalah dan harus
tidak kembali ke keraton. Dan sejak saat itulah patih Pranggulang mengganti
pakaiannya dengan pakaian biasa dan kepalanya diikat dengan kain poleng, serta
merubah nama menjadi Kiyai Poleng. (Poleng dalam bahasa Madura kain tenunan
Madura) Setelah mengganti pakaian, Kiyai Poleng memotong kayu dan dirangkai
menjadi satu rangkaian seperti perahu (orang Madura menamakannya Ghitek;
Getek=Jawa) sang putri oleh Kiyai Poleng didudukkan diatas gitek itu dan
dihanyutkan ke laut menuju "Madu oro" (Pojok pojok di ara-ara artinya
menuju arah yang luas). Dengan kata "Madu oro" itulah pulau ini
diberi nama Madura, begitu cerita lain memberinya nama.
Diceritakan bahwa ghitek tadi terdampar di gundukan tanah dimana orang
sekarang memberi nama gunung Gegger (disitu ada tertulis perkataan tanah
Madura, maka yang dimaksud ialah tanah di daerah Kabupaten Bangkalan termasuk
juga kabupaten Sampang, sedangkan apabila tertulis dari babat-babat yang
menyebutkan daerah disebelah timur dari daerah tadi, maka lalu ditulisnya
Sumenep atau Sumekar dan ditulisnya pula Pamekasan).
Sebelum sang putri diberangkatkan, Kiyai Poleng berpesan, bahwa jika
butuh bantuan atau pertolongan apa-apa, hendaknya sang putri menghentakkan
kakinya ke tanah tiga kali lalu memanggil Kiyai Poleng, maka seketika itu Kiyai
Poleng akan datang. Selain itu pula diberinya bekal berupa buah-buahan untuk
menjadi makanan di tengah laut.
Setelah terdampar di gunung Gegger, sang putri turun dari ghitek itu
kemudian mencari pohon yang cukup rindang untuk berteduh. Setelah didapatinya
pohon yang dimaksud, beliau segera memetik daun-daunnya serta ditata dibawah
pohon itu untuk dibuat sebagai alas atau tikar untuk didudukinya. ( Pohon yang
beliau piIih disaat itu orang Madura menyebutnya pohon Pelasa; orang jawa
menyebutnya pohon poloso yaitu suatu pohon yang lebih kecil dari pohon jati,
daunnya mirip daun jati, dan di Madura sering dibuat bungkusnya tembakau
rajangan).
Berselang beberapa bulan kemudian, Sang putri sakit perut seolah-olah
akan menemui ajalnya. Segera sang putri ingat pesan Kiyai Poleng dan segera
memanggilnya dengan cara yang telah diberitahukannya, tak seberapa lama Kiyai
Poleng pun datang untuk memberi bantuan. " Bertahanlah putri , tuan putri
tidak lama lagi akan melahirkan anak kata Kiyai Poleng". Ternyata benarlah
apa yang dikatakan Kiyai Poleng karena tak lama kemudian putri melahirkan
seorang putra laki-laki dengan roman muka yang amat bagus. Anak itu diberi nama
"Raden Segoro" (segoro artinya laut). Sejak saat itulah pulau Madura
mempunyai penduduk dua orang yaitu sang putri bersama anaknya yang bernama
Raden Segoro. Sedangkan Kiyai Poleng setelah Raden Segoro lahir beliau
menghilang seketika, namun demikian beliau sering-sering datang menjenguk
dengan membawa makanan berupa buah-buahan.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu Raden Segoro makin tumbuh
sehat di tempat itu. Bila malam tiba perahu-perahu dagang yang berIalu lalang
di laut itu serta orang-orang dalam perahu itu bertanya-tanya apa kiranya yang
ada di pulau itu, karena dipulau itu memancar sinar bak bulan purnama. Sehingga
di dalam hatinya terlintas ingin berlabuh disana, bahkan orang-orang yang lewat
itu selalu berniat, jikalau perniagaannya selamat dan beruntung mereka akan
mampir berlabuh disana dan akan membuat selamatan makan dan minum disana serta
akan memberikan hadiah kepada yang bersinar itu.
Oleh karena itu, maka sering-seringlah Raden Segoro kedatangan tamu
dari mereka yang beruntung dan terkabul hajatnya. Namun mereka sesampainya di
tempat itu mereka keheranan karena ditempat itu hanya ada seorang ibu dan
anaknya yang masih kecil. Sehingga hadiah-hadiah yang mereka niatkan
diberikannya kepada Raden Segoro dan ibunya.
Diceritakan puIa, bahwa setelah Raden Segoro berumur dua tahun, ia
mulai berani bermain-main agak jauh dari ibunya bahkan hingga ditepi pantai.
Suatu ketika disaat bermain ditepi Iaut datangkah dua ekor ular naga yang
teramat besar mendekatinya. Dengan rasa ketakutan ia berlari menuju ibunya ,
sambiI menangis dan melaporkan semua kejadian itu kepada ibunya. Ibunya pun
merasa khawatir jangan-jangan anaknya dimakan ular itu. Akhirnya setelah
beberapa hari kemudian ibunya segera memanggil Kiyai Poleng. Dan setelah Kiyai
Poleng datang ibunya segera menceritakan semua kejadian yang dialami anaknya,
Kiyai Poleng mendengar semua cerita tersebut mengajak Raden Segoro untuk
kembali bermain di tepi laut itu. Dengan rasa khawatir ibunya melepaskan
anaknya bermain ketepi laut bersama Kiyai Poleng tersebut. Tidak berapa lama
mereka berdua berada ditepi laut, maka datanglah dua ekor ular raksasa itu
kemudian Kiyai Poleng menyuruh Raden Segoro untuk menangkap dua uIar raksasa
tersebut dan membantingnya ke tanah. Namun Raden Segoro ketakutan untuk
melaksanakan perintah itu. Akan tetapi Kiyai Poleng memaksa kepada Raden Segoro
untuk melakukannya. Akhirnya Raden Segoro dengan rasa khawatir dan takut
memberanikan diri untuk menangkap dan segera membantingnya ketanah dan seketika
itu juga dua ekor ular raksasa itu menjadi dua bilah tombak. Tombak tersebut
diserahkannya kepada Kiyai Poleng. Setelah dua bilah tombak itu dibawa
menghadap ibu Raden Sagoro, tombak tersebut diberinya nama Kiyai (si) Nenggolo yang
satunya lagi diberinya nama Kiyai (si) Alugoro.
Diterangkan oleh Kiyai Poleng bahwa tombak yang bernama kiyai (si)
Alugoro untuk ditaruh di dalam rumah sedangkan tombak yang bernama Kiyai (si)
Nenggolo dapat dibawa apabila berperang. Diceritakan pula oleh kiyai Poleng
bahwa asal usul tombak itu adalah di zaman dahulu kala disaat pulau Jawa belum
ada penduduknya panglima perang raja Room, setelah diperiksa oleh panglima raja
Room ternyata pulau Jawa adalah pulau yang amat subur sehingga diberinya nama tanah
"Emas" kemudian raja Room memindah sebagian penduduk di negerinya.
Akan tetapi berselang beberapa hari saja semua orang itu sakit keras dan
mati.
Disebutkan pula bahwa disaat itu tanah Jawa masih menjadi sarangnya
hantu-hantu yang memakan manusia. Akhirnya Raja Room memerintahkan agar setiap
pojok pulau itu diberi senjata sebagai penangkal hantu-hantu itu. Disebelah
barat bagian selatan ditanam sebilah pedang suduk, sebelah barat bagian utara
ditanam tombak Kiyai Nenggolo, dan sebelah timur bagian utara ditanam sebilah
pedang suduk, dan sebelah timur bagian selatan ditanam tombak Kiyai
Alugoro.
Setelah selesai memberi pusaka disetiap pojok itulah raja Room kembali
mengirimkan beberapa penduduknya dan akhirnya mereka dapat hidup dan bercocok
tanam di daerah Jawa. Sekarang Kiyai Nenggolo dan Kiyai Alugoro telah
dititahkan oleh Yang Maha Kuasa untuk menjadi pusakanya Raden Segoro.
Selesai memberikan penjelasan itu kiyai Poleng menghilang seketika.
Kini hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun Raden
Segoro telah berumur tujuh tahun. Disaat itu Raden Segoro dan ibunya berpindah
tempat kearah utara (pesisir Pantai Utara). Tempat itu diberinya nama Desa Nepa
Oleh karena di tempat itu banyak pohon Nepa. (hingga sekarang orang madura
tetap memberinya nama Desa Nepa). Pohon Nepa orang Madura juga menyebutnya
pohon Bunyok yaitu sebangsa pohon kelapa, daunnya dapat dibuat atap rumah,
sedangkan yang masih muda dapat dibuat rokok (seperti rokok kelobot). Desa Nepa
sekarang terletak di kewedanan Ketapang kabupaten Sampang, di pantai sebelah
utara Pulau Madura dan tempat itu sekarang banyak keranya.
Keesokan harinya raja Sanghyangtunggal berkati-kah mengalami kekalahan
sehingga rakyatnya hampir habis terbunuh oleh raja Cina. Kejadian ini membuat
raja Sanghyangtunggal susah dan kebingungan. makan tidak enak, tidurpun tidak
nyenyak. Beliau selalu bermohon kepada Tuhan supaya mendapat pertolongan. Pada
suatu malam raja Sanghyangtunggal bermimpi didatangi seorang tua dan berkata,
bahwa 'disebelah pojok barat daya dari keratonnya ada pulau bernama Madu oro
(Lemah duro) Disana ada seorang anak muda bernama Raden Segoro, mintalah
bantuan kepadanya agar perangnya dapat menang menghadapi musuh dari Cina
itu.
Keesokan harinya raja Sanghyangtunggal segera memanggil patihnya untuk
segera berangkat dengan membawa beberapa perahu beserta prajurit secukupnya,
tidak lupa pula buah tangan yang akan diajukan kepada Raden Segoro.
Diperintahkan pepatih itu untuk dapat mengajak Raden Segoro guna membantu peperangan
yang sedang terjadi itu.
Setelah melakukan perjalanan beberapa hari, rombongan prajurit itu
telah sampai ke tujuan. Sang patih segera menghadap kepada ibu Raden Segoro dan
bermohon agar dapatnya Raden Segoro di bawa serta ke kerajaan Medangkamulan untuk
membantu peperangan yang sedang terjadi di negaranya. Namun ibu Raden Segoro
tidak bisa menjawab seketika itu, berhubung anaknya (Raden Segoro) masih
terlalu muda untuk ikut berperang. Akhirnya patih dan prajurit itu memaksa
Raden Segoro untuk tetap akan dibawa ke Negara Medangkamulan. Beberapa prajurit
memegang Raden Segoro dan membawanya ke atas perahu. Akan tetapi sebelum Raden
Segoro mencapai perahu itu, tangan-tangan prajurit yang sedang memegangi Raden
Segoro lumpuh seketika tidak mempunyai kekuatan, serta datang angin yang cukup
keras dari arah lautan sehingga perahu-perahu prajurit itu hampir tenggelam
karam karena kemasukan air ombak yang menderu-deru dan besar datangnya.
Akhirnya patih Medangkamulan segera mohon ampun kepada Raden Segoro dan ibunya
dan seketika itu angin dan ombak berhenti seperti sedia kala.
Karena kejadian ini cukup membingungkan ibu Raden Segoro, maka ibu
Raden Segoro memanggil Kiyai Poleng. Seketika itu pula datanglah Kiyai Poleng
dan diceritakan semua kejadian itu. Setelah semua cerita Kiyai Poleng cukup
mengerti, maka Kiyai Poleng mohon izin kepada ibu Raden Segoro untuk memberi
restu kepada putranya untuk membantu peperangan raja Medangkamulan itu. Dan
Kiyai Poleng siap membantunya juga.
Oleh karena permohonan Kiyai Poleng itulah akhirnya ibu Raden Segoro
memberinya izin kepada putranya untuk membantu peperangan yang terjadi di
negara Medangkamulan tersebut. Dengan seizin ibunya Raden Sagoro turut serta
bersama para prajurit menuju negara Medangkamulan. Sedangkan Kiyai Poleng turut
serta namun tidak dapat dilihat oleh mata telanjang semua prajurit itu kecuali
Raden Segoro saja.
Sesampainya di negara Medangkamulan, peperangan antara prajurit
Medangkamulan dengan prajurit dari Cina masih terus berkecamuk. Oleh karena itu
Raden Segoro dengan didampingi Kiyai Poleng langsung menuju arena peperangan
itu. Dengan bersenjatakan tombak Kiyai Nenggolo, Raden Segoro tidak usah
bersusah payah menghadapi tentara Cina itu, sebab atas bimbingan Kiyai Poleng
tombak Kiyai Nenggolo dengan cukup ujung tombak diarahkan kesarang musuh maka
musuh banyak yang mati karena diserang penyakit mendadak. Oleh karena itu
tentara Cina habis mati tanpa berperang. Sedangkan sisanya tidak dapat
melarikan diri sehingga tak satupun tentara Cina yang hidup. Orang Madura
bilang epagemmet artinya habis tanpa sisa.
Raja Medangkamulan segera membikin pesta besar atas kemenangan
perangnya atas negara Cina itu, dan memberi penghormatan yang tinggi kepada
Raden Segoro. Atas penghormatan tersebut Raden Segoro diberi gelar Tumenggung
Gemmet. Atas jasa-jasa yang telah diberikannya itu, Raja Medangkamulan akan
mengambil anak mantu kepada Tumenggung Gemmet. Namun Tumenggung Gemmet
kebingungan berhubung setelah Raja Medangkamulan menanyakan siapakah nama
ayahnya, Tumenggung Gemmet tidak dapat menjawabnya, dan akan menanyakan kepada
ibunya. Oleh sebab itu Raja Medangkamulan memerintahkan kepada patihnya untuk
menyiapkan perahu beserta tentara kehormatannya, disertai sepucuk surat tanda
terima kasih kepada ibu Tumenggung Gemmet atas jasa-jasa putranya.
Sesampainya di Nepa, sang Patih segera menyampaikan terima kasihnya
dan segera bertolak ke negaranya. Sedangkan Kiyai Poleng menghilang seketika
itu pula. Disaat itu pula Raden Segoro memberanikan diri untuk segera bertanya
kepada ibunya siapakah ayahnya. Ibu Raden Segoro menjadi kebingungan untuk
mejawab pertanyaan anaknya itu, akhirnya beliau menjawab bahwa ayahnya adalah
seorang siluman. Selesai menjawab seketika itu lenyaplah ibu dan anak itu
berikut rumah tinggalnya yang disebut keraton Nepa.
Demikian hikayat penduduk tanah Madura, dimana oleh orang tua-tua
hikayat ini dijadikan cerita turun temurun kepada anak cucu untuk suri teladan
bahwa kepahlawanan Raden Segoro terhadap orang tuanya dapat membalas hutang
eyangnya yang telah menghinakan ibunya dengan balasan yang lebih baik.
Menurut beberapa cerita bahwa Raden Segoro menjadi seorang siluman dan
kawin dengan Nyai Roro Kidul. Setelah berselang beberapa tahun kemudian tombak
Kiyai Nenggolo dan tombak Kiyai Alugoro diserahkan kepada pangeran Demang
Pelakaran (Kiyai Demong) sebagai bupati Arosbaya (Bangkalan) dan hingga saat
ini kedua tombak tersebut menjadi pusaka Kabupaten Bangkalan. Dari hilangnya
Raden Segoro dan ibunya secara gaib itu serta Kiyai Poleng yang dapat menghilang
itupun menjadi kepercayaan-kepercayaan tertentu kepada orang tua-tua di Madura
karena disaat itu mereka meyakini, menganut agama Hindu Budha. Bahkan kera-kera
yang sekarang masih ada di hutan Nepa itu diyakini oleh sebagian orang jelmaan
dari Raden Segoro beserta beberapa prajurit kala itu.
Sumber :buku “ Panembahan Ronggosukowati Raja Islam Pertama di Kota
Pamekasan (Seri Sejarah Pamekasan) “ Oleh : Drs. Bambang Hartono HS.
(Agus Lempar)
Posting Komentar