Unordered List

Selasa, 20 Agustus 2013

0 MENELUSURI JEJAK SEJARAH AWAL ISLAM DI MADURA




Bukan suatu hal yang berlebihan apabila seseorang mengatakan bahwa Islamisasi Madura berjalan sukses sehingga berhasil dan kini tak seorang pun penduduk Madura yang bukan Muslim. Kalau pun ada yang bukan Muslim, maka bisa dipastikan mereka itu pendatang baru. Namun, sejak kapan dan bagaimana semua itu bermula, amat sukar dirajut dengan sempurna. Ibarat benang kusut, sejarah proses Islamisasi Madura ini belum dan tidak terdokumentasi dengan rapi. Mitos dan legenda banyak mewarnai kisah-kisah seputar Islamisasi penduduk pulau garam ini. Beberapa kajian akademis yang hadir belakangan terlalu banyak yang mengangkat Madura dari segi budaya an sich, sehingga terkesan melupakan peran tokoh-tokoh ulama-ulama yang membawanya. Tulisan ini coba mengungkap sejarah Islamisasi Madura pada periode awal, yaitu masa peralihan agama primitif orang Madura kepada Islam.

Agama Primitif Madura
Terletak di seberang timur laut pulau Jawa, pulau Madura dikatakan mulanya hanya terdiri dari gundukan-gundukan tanah yang kadang tampak hijau dari kejauhan tatkala air laut surut namun ‘hilang’ dari pandangan bila air laut pasang. Sebab itulah orang Jawa menyebutnya “Lemah Dhuro” yakni tanah yang tidak sesungguhnya; kadang terlihat dan kadang raib. Bahkan sampai sekarang pun masih ada orang Jawa yang memanggil orang Madura itu “Wong Dhuro”.
Sejarah lisan (legenda) masyarakat Madura mengatakan bahwa nenek moyang penduduk Madura berasal dari pulau Jawa, yaitu Raden Segoro, putra seorang raja dari negara Medangkamulan di dekat gunung Semeru dan Bromo. Meski sukar untuk dipastikan historisitasnya, keberadaan tokoh Raden Segoro dan Kyai Poleng begitu kuat dipercaya oleh masyarakat turun-temurun. Maka tak mengherankan kalau sejarah Madura terkait erat dengan sejarah Jawa. Kerajaan-kerajaan Madura sejatinya merupakan kelanjutan dari kerajaan-kerajaan besar di Jawa, mulai dari Kediri, Singasari, Majapahit dan Mataram. Oleh karena itu, pada zaman pra-Islam, penduduk Madura umumnya beragama Hindu-Buddha, sebagaimana masyarakat jawa pada umumnya.
Namun demikian, sejarawan mengakui sangat kesulitan untuk merekonstruksi masa pengaruh Hindu-Budha di Madura ini karena kelangkaan sumber sejarah. Hanya ada beberapa candi baik di Pamekasan dan Sumenep sebagai bukti bahwa agama Hindu-Budha pernah dianut masyarakat Madura. De Graaf mengakui, untuk merekonstruksi sejarah Jawa, termasuk Madura, terpaksa menggali dari sumber yang keruh. Diperkirakan pengaruh Hindu-Budha yaitu sejak abad ke 9, sejak berkembangnya cerita Raden Segoro, sampai sekitar abad ke 15, yakni setelah mulai berkembangnya masyarakat mengenal Islam lalu memeluknya. Pengaruh kuat Hindu-Budha juga diperkuat dengan adanya catatan bahwa di abad-abad itu secara berturut-turut Madura dibawah pengaruh Kediri (1050-1222), Singosari (1222-1292) dan Majapahit (1294-1572), yang kesemuanya beragama Hindu dan Budha. Sebab itu, istilah “Madura” tidak jarang disebut-sebut dalam tulisan-tulisan orang Hindu sebagaimana dalam Pararaton yang menyebut istilah “Madura Wetan”, Madura bagian timur, yakni Sumenep.
Sampai di sini agama primitif orang Madura bisa dipastikan tidak jauh berbeda dengan masyarakat Jawa pra Islam, yaitu Hindu-Budha. Adapun agama selain itu adalah agama baru yang datang kemudian, termasuk Islam dan Kristen. Selanjutnya akan dijabarkan proses Islamisasi Madura.
Islamisasi Madura
Proses Islamisasi Madura boleh dibilang suatu proyek dakwah yang menuai hasil yang luar biasa. Proyek dakwah ini sebenarnya adalah kelanjutan dari mega proyek Islamisasi Nusantara yang sangat massif di antara abad ke-7 hingga abad ke-15 melalui tangan-tangan ikhlas para juru dakwah yang di Jawa dikenal dengan Wali Songo. Madura juga menjadi bagian agenda mega proyek ini.
Namun demikian, sepertinya perlu kerja keras untuk membangun sejarah Islamisasi Madura ini agar tersusun secara utuh. Hal ini karena fakta telah berbaur dengan legenda. Stories, myths and legends are to be foundin abundance, kata Lik Arifin Mansurnoor, dalam penelitiannya tentang peran ulama dalam Islamisasi Madura. Oleh karenanya, bukan suatu yang mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: sejak kapan Islamisasi Madura? Siapa yang pertama kali menyebarkan Islam di Madura? Melalui apa penyebarannya? Bagaimana cara konversi agama sebelumnya ke agama Islam? Setidaknya, ada dua jalur Islamisasi Madura yang bisa dielaborasi, yaitu jalur kerajaan dan jalur para da’i atau yang lebih dikenal para sunan.

Jalur Kerajaan
Jalur kerajaan adalah teori yang menggambarkan bahwa Islamisasi Madura itu melalui para pemimpin dan bangsawan kerajaan. Karena raja-rajanya Islam, maka keturunannya ikut Islam dan diikuti oleh penduduk di bawahnya yang juga memeluk Islam.
Ada beberapa pendapat tentang hal ini. Di bagian timur Madura, yaitu Sumenep menyebutkan Islam sudah masuk ke Sumenep sejak Panembahan Joharsari, penguasa Sumenep dari tahun 1319-1331 M. Panembahan Joharsari mempunyai putra bernama Raden Piturut yang bergelar Panembahan Mandaraka yang juga disinyalir beragama Islam. Bukti keislamannya adalah makamnya sudah berbentuk Islam yang terletak di desa Mandaraga, Keles, Ambunten. Panembahan Mandaraka yang berkuasa sampai 1339 M mempunyai dua putra yaitu Pangeran Natapraja bertahta di Bukabu dari thn 1339-1348 M dan Pangeran Nataningrat yang menggantikan kakaknya dengan karaton Baragung, Guluk-Guluk. Pangeran Nataningrat berputra Agung Rawit yang bergelar Pangeran Sekadiningrat I yang memerintah thn 1358-1366 M dengan keraton di Banasare. Kemudian ia diganti oleh putranya yaitu Temenggung Gajah Pramada yang bergelar Sekadiningrat II yang memerintah thn 1366-1386 M. setelah itu ia diganti oleh cucunya yang bernama Jokotole atau Aria Kudapanole yang bergelar sekadiningrat III.
Namun sepertinya masih terlalu lemah pembuktian keislaman penguasa-penguasa Sumenep di atas karena minimnya bukti empiris yang mendukung. Ditambah lagi, ada yang mengatakan, Jokotole atau Aria Kudapanole yang berkuasa sejak tahun 1415-1460 M baru masuk Islam kemudian melalui Juru Dakwah yang dikenal dengan Sunan Paddusan. Nama Asli sunan ini adalah R. Bindara Dwiryapada anak dari Haji Usman Sunan Manyuram Mandalika, penyebar agama Islam di Lombok. Sunan Paddusan kemudian diambil menantu oleh Jokotole.
Sementara itu, teori kerajaan lainnya adalah di Madura bagian Barat. Menurut beberapa sumber, Prabu Brawijaya ke V, yakni Prabu Kertabumi, yaitu Raja Majapahit yang memerintah antara tahun 1468–1478 M telah memeluk Islam. Dari permaisurinya yang bernama Ratu Dworowati dikarunia putra bernama Raden Ario Lembu Petteng. Ario Lembu Petteng kemudian menjadi Kamituo di Madegan Sampang. Sementara di lain cerita, putra Prabu Kertabumi lainnya bernama Ario Damar (menjadi adipati di Palembang) mempunyai putra Raden Ario Menak Senoyo. Ario Menak Senoyo kemudian meninggalkan Palembang dan menetap di Madura, tepatnya di Parupuh (sekarang Proppo). Kisah Madura bagian Barat ini bermula dari kisah mereka berdua. Mereka masih setia dengan agama primitifnya, yaitu Hindu. Sebagai bukti, di sana terdapat puing-puing candi yang gagal dibangun. Orang menyebutnya Candi Burung (“burung” dalam bahasa Madura bermakna gagal).
Ario Lembu Petteng sudah mulai tertarik dengan agama baru yang waktu demi waktu tambah ramai dianut orang, utamanya di lingkungan bangsawan Majapahit. Lalu kemudian ia memeluk Islam pada tahun 1478 M. setelah menjadi santri dari Sunan Ampel. Sebelumnya ia hanya mengutus bawahannya untuk belajar Islam ke Sunan Ampel. Namun ternyata anak buahnya itu sudah keduluan masuk Islam. Tidak mau ketinggalan, ia kemudian berangkat sendiri ke Ampel Delta dan nyantri kepada Sunan Ampel. Akhirnya ia memeluk Islam dan tidak sempat pulang lagi ke Sampang karena keburu meninggal dan dimakamkan di Ampel. Namun, menurut cerita lain, di masanya ia menetap di Sampang inilah Sunan Giri mengutus Syekh Syarif, yang juga dikenal dengan Khalifa Husein, untuk membantunya untuk merangkul para pengikut baru di pulau tersebut.
Lembu Petteng meninggalkan dua putra dan satu putri. Mereka adalah Raden Ario Manger, Raden Ario Mengo dan Retno Dewi. Lalu kemudian Raden Ario Manger menggantikan bapaknya sebagai Kamituo di Madegan Sampang. Ia mempunyai tiga orang putra, yaitu Kyai Ario Langgar, Kyai Ario Panengah, Kyai Ario Pratikel. Namun, tidak semua keturunan Lembu Petteng memeluk Islam. Tercatat Ario Mengo tetap menganut Budha dan oleh karenanya masyarakatnya masih kuat menganut agama ini. Ario Mengo lah yang membuka hutan di sebelah timur dari kerajaan bapaknya, yaitu di daerah Pamelingan (sekarang Pamekasan). Dialah yang memerintah pertama kali di sana dengan gelar Kyai Wonorono di mana tempat keratonnya berada di daerah Lawangan Daya sekarang.
Dua keturunan Prabu Kertabumi Barawijaya V ini kemudian menjadi satu kembali pada perkawinan antara Raden Ario Pojok dari garis keturunan Raden Ario Damar dengan Nyai Budho dari garis keturunan Raden Ario Lembu Petteng. Dari perkawinannya ini dikarunia lima anak yang salah satunya adalah bernama Kyai Demang yang kemudian memimpin Plakaran Arosbaya, Bangkalan. Kyai Demang kawin dengan Nyi Sumekar mendirikan Kraton di kota Anyar. Dari perkawinannya itu kemudian mereka dikarunia lima orang putra, yaitu: (1) Kyai Adipati Pramono di Madegan Sampang; (2) Kyai Pratolo disebut juga Pangeran Parambusan; (3) Kyai Pratali atau disebut juga Pangeran Pesapen; (4) Pangeran Paningkan disebut juga dengan nama Pangeran Suka Sudo; dan (5) Kyai Pragalba yang kemudian dikenal dengan nama Pangeran Plakaran karena bertahta di Plakaran.
Menurut catatan sejarah, penguasa Plakaran ini masih enggan memeluk Islam, walaupun Islam sudah menjadi buah bibir sebagian besar masyarakatnya, termasuk putranya sendiri Raden Pratanu. Namun demikian, ia tidak melarang putranya belajar ilmu Islam kepada Sunan Kudus. Oleh karena itu, agama Islam masih menemukan rintangan berkembang di Madura bagian Barat ini karena keengganan Raden Pragalbo untuk memeluk Islam. Di penghujung usianya, Raden Pratanu membujuk bapaknya agar mengucapkan dua kalimat syahadat. Saat itulah Raden Pragalbo wafat setelah Beberapa saat sebelumnya menganggukkan kepala tanda setuju dengan bimbingan anaknya. Mengangguk dalam bahasa Madura disebut onggu’. Sejak itulah, menurut legenda ini, Raden Pragalbo kemudian lebih dikenal dengan Pengeran Islam Onggu’.
Panembahan Pratanu yang bergelar Lemah Dhuwur ini adalah pendiri kerajaan kecil yang berpusat di Arosbaya, sekitar 20 km dari kota Bangkalan ke arah utara. Diperkirakan, Panembahan Pratanu dinobatkan sebagai raja pada tahun 1531 setelah ayahnya, Raja Pragalbo, meninggal dunia. Sebagaimana disebutkan di atas, walaupun sang Bapak masih enggan masuk Islam, namun ketika Pratanu masih dalam masa mudanya ia pernah bermimpi didatangi orang yang memintanya agar memeluk agama Islam. Mimpinya disampaikannya kepada sang ayah, lalu sang ayah mengirim Patih Empu Bageno untuk mempelajari Islam di Kudus. Tidak tanggung-tanggung, sang Patih belajar Islam sungguh-sungguh sampai akhirnya memeluk agama ini dan kembali ke Arosbaya. Dari dialah Pratanu mengenal Islam dan iapun masuk Islam. Diperkirakan, setelah keislaman sang pangeran, ia bersama Empu Bageno kemudian menyebarkan agama baru itu ke seluruh warga Arosbaya. Dilihat dari masanya, di mana ia diperkirakan lahir tahun 1531 dan meninggal tahun 1592, Panembahan Pratanu termasuk raja pertama di Madura Barat ini yang masuk Islam dan menyebarkannya.
Di pamekasan, Raja yang tercatat sebagai penganut Islam pertama adalah Panembahan Ronggosukowati. Menurut catatan sejarah pamekasan, di masa muda Ronggosukowati pernah belajar kepada Sunan Giri atau Raden Paku. Oleh karena itu, bisa dipastikan Ronggosukowati muda ini sudah Muslim. Dialah yang kemudian menggantikan Bapaknya, yaitu Panembahan Bonorogo, karena usia yang sudah lanjut. Namun, kepulangan Ronggosukowati ke Pamekasan tidaklah sendirian. Konon Sunan Giri menyertakan muballigh bersamanya untuk menyiarkan Islam di Pamekasan yang bernama Sayyid Muhammad bin Abdurrahman bil Faqih. Bersama muballigh itulah Ronggosukowati mengislamkan Pamekasan.
Sejauh penulis telusuri, pada periode awal, memang Madura berada di bawah kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Jawa. Itu diperkirakan antara abad ke 10-15. Di antara masa-masa ini aroma dakwah Islam sudah masuk ke Jawa yang mengakibatkan beberapa orang masuk Islam, utamanya daerah-daerah pesisir pantai utara jawa. Akibatnya, Madura juga menjadi bagian terpenting dari proses Islamisasi ini melalui islamnya kalangan bangsawan di kala itu. Sehingga, sekitar abad ke 16 dan seterusnya, semua kerajaan dan begitu juga masyarakatnya sudah Islam, utamanya setelah penguasaan Mataram atas kerajaan-kerajaan Madura antara abad ke 16-17.
Peran Sunan-Sunan di Madura
Islamisasi Jawa oleh para Sunan sangat luas imbasnya, termasuk Madura menjadi obyek proyek besar mereka. Sunan yang kemudian dikenal dengan Walisongo memang tidak secara langsung menyebarkan Islam ke pulau ini. Namun demikian, pengaruh agama baru yang mereka bawa betul-betul dirasakan hingga ke pelosok-pelosok kampung di Madura. Islam betul-betul menjadi tren di masyarakat luas waktu itu.

Sapudi Kepulauan Islam Pertama di Sumenep
Tersebutlah sebuah pulau kecil di Kabupaten Sumenep yang bernama Sapudi. Konon, kata ini, “Sapudi”, berasal dari kata-kata Sepuh Dhewe (bahasa Jawa) yang bermakna “yang paling tua sendiri”. Menurut kisah tutur madura, dikatakan tua sendiri karena dianggap Islam masuk ke tempat ini paling awal dibandingkan di tempat-tempat lain di Madura pada umumnya dan di Sumenep pada khususnya.
Perlu diketahui, bahwa Madura bagian Timur ini semarak lebih awal dari bagian Baratnya berkat kemajuan-kemajuan yang dicapai Aria Wiraraja setelah menjadi Adipati di sana pada abad ke 13. Sementara transportasi waktu itu sangat bergantung kepada transportasi laut. Oleh karena itu, minat para pedagang akan jatuh kepada lokasi-lokasi ramai di mana hal itu lebih memungkinkan mereka untuk berniaga. Jalur pesisir utara jawa adalah pilihan yang sudah biasa dilalui armada pedagang internasional hingga ke perairan Lombok. Tak terkecuali pedagang Arab yang juga sampai ke Madura bagian Timur ini. Sudah menjadi lumrah para penyeru dakwah menyertai perjalanan para peniaga dari Arab ini.
Berdasarkan survei penulis terhadap beberapa literatur, tercatatlah seorang penyeru dakwah bernama Sayyid Ali Murtadha yang menuju arah Timur dan mendarat di sebuah pulau yang dikenal sekarang dengan Sepudi. Di sanalah dia menyiarkan agama baru, Islam. Dialah Sunan Lembayung Fadal. Orang menyebutnya dengan Rato Pandita. Kuburannya saat ini disebut Asta Nyamplong.
Sunan Lembayung Fadal mempunyai empat keturunan. Pertama, bernama Haji Usman yang dikenal dengan Sunan Manyuram Mandalika. Ia menyiarkan Islam di Lombok dan mempunyai putra bernama Raden Bindara Dwiryapada yang sampai sekarang dikenal dengan nama Sunan Paddusan, menyebarkan Islam di Sumenep. Sunan Paddusan menjadi menantu Jokotole. Jokotole masuk Islam dari tangannya.
Kedua, Usman Haji yang dikenal dengan Sunan Ngudung (Sunan Andung). Beliau mempunyai dua anak, putra dan putri, yaitu: Syd. Jakfar shodik (Sunan Kudus) dan Siti Sujinah (istri Sunan Muria).
Ketiga, Tumenggung Pulangjiwa atau juga dikenal dengan Panembahan Blingi. Ia kemudian dikarunia dua anak, yaitu Adipoday dan Adirasa. Keempat, Nyai Ageng Tanda. Ia kemudian menjadi istri Khalifah Husain atau Sunan Kertayasa di Sampang.
Dikabarkan, Sunan Lembyung Fadal sezaman dengan Panembahan Joharsari yang berkuasa antara tahun 1319-1331 M di Sumenep. Dengan demikian, Sunan ini termasuk awal, lebih awal dari Walisongo yang memasifkan gerakan dakwahnya pada abad ke 15-16 M. Ini sangat dimungkinkan karena sebenarnya di Surabaya dan sekitarnya, sejak sebelum abad ke 11 diduga kuat sudah banyak komunitas Muslim. Sebagai salah satu buktinya adalah adanya makam seorang muslimah di Gresik yang bernama Fatimah binti Maimun yang wafat tahun 1082 M. Oleh karena itu, bisa diduga bahwa Sunan Lembayung Fadal ini hanyalah bagian kecil dari rombongan para penyiar yang sudah marak “berkeliaran” di Jawa dan sekitarnya untuk menyiarkan Islam.
Jika teori ini benar, maka isu bahwa legenda keislaman Adipoday (Wirakrama) yang disinyalir cucu dari Sunan Lembayung Fadal dan istrinya yang dalam legenda dikenal Potre Koneng semestinya juga Islam. Namun, susah membuktikan keislaman mereka karena sangat minimnya data pendukung yang bisa dipertanggungjawabkan. Sebab hampir semua kisah tentang Adipoday dan Potre Koneng diselimuti kabut fiktif yang amat sulit membuktikan historisitasnya. Justru, fakta yang lebih terang menyatakan bahwa anak dari pasangan Adipoday dan Potre Koneng yaitu Jokotole baru masuk Islam kemudian ketika Sunan Paddusan atau R. Bindara Dwiryapada yang menyiarkan Islam di Sumenep dan akhirnya diambil menantu oleh Jokotole. Oleh karena itu, bisa jadi kisah Adipoday dan Potre Koneng hanya disambung-sambungkan dengan kisah Sapudi sehingga seakan satu garis keturunan. Atau bisa saja kisah Sapudi itu juga terlalu dibumbu-bumbui sehingga terkesan Islamnya Raja Sumenep lebih awal masuknnya di bandingkan raja-raja Madura lainnya.

Sunan Ampel dan Cina Muslim di Sumenep
Dakwah yang disiarkan oleh Sunan Ampel sudah berpengaruh luas hingga ke pelosok Madura. Berita tentang adanya agama baru yang memberi harapan sudah sekian jauh menggema di sanubari masyarakat. Secara sukarela satu persatu masuk Islam. Tak terdapat suatu paksaan dalam konversi agama ini. Namun magnet Islam sudah terlalu kuat di hati orang-orang Hindu maupun Budha karena dalam Islam terdapat kekuatan cara pandang yang canggih dan baru bagi mereka.
Memang, jejak-jejak Sunan Ampel tidak terlalu terekam di Madura ini secara jelas. Namun dipastikan aroma dakwahnya senantiasa memancing keingintahuan. Salah satunya dalam kisah Aria Lembu Petteng yang merupakan putra dari Prabu Kertabumi, Raja Majapahit Brawijaya ke V, yang dikirim ke Sampang untuk menjadi Kamituo. Karena tidak tega mendengar rintihan batinnya, ia pun berangkat ke Ampel Delta belajar Islam dan menjadi Muslim kepada Sunan Ampel dan akhirnya meninggal di Ampel. Sayangnya tidak sempat kembali lagi ke Sampang untuk menyiarkan Islam di sana. Sehingga anak-anaknya masih juga dengan agama primitifnya yaitu Hindu. Baru pada masa cucu-cunya ketika kabar Islam sudah semakin santer di masyarakat sudah banyak yang berpindah agama.
Di Sumenep bagian utara, tepatnya di Kecamatan Pasongsongan, terdapat kisah menarik mengenai sebuah perkampungan yang didiami orang-orang Cina Muslim. Mereka mengklaim sebagai keturunan Cina yang masih termasuk santri Sunan Ampel di Ampel Surabaya. Konon mereka mendiami Madura sejak zaman maraknya penyebaran dakwah di jawa melalui tangan-tangan para sunan, utamanya Sunan Ampel di Surabaya. Tercatat, Sumenep sebagai lokasi paling timur Madura yang lebih awal mengalami kemajuan peradaban yang ternyata mempunyai jejak-jejak historis masyarakat Cina yang sudah beragama Islam.
Tercatat bahwa interaksi orang-orang Cina dengan Madura bagian timur ini diperkirakan sejak tentara Mongol dikalahkan Majapahit pada abad ke 13 dimana Aria Wiraraja punya andil besar dalam strategi perang Majapahit ketika itu. Konon, orang-orang Cina sisa-sisa prajurit Tartar itu terperangkap siasat yang dilancarkan oleh Aria Wiraraja sehingga mereka tidak bisa kembali lagi ke negara asalnya. Sumenep kembali berbenturan dengan pasukan Cina ketika terjadi perang dengan pasukan Jokotole pimpinan Dempo Awang di abad ke 15. Orang-orang Cina ini semakin banyak di Madura utamanya di Sumenep ketika VOC sudah mulai menembus perkampungan Madura sejak abad ke 17-19, dimana orang-orang Cina ikut serta meramaikan perhelatan ekonomi di pulau garam ini.
Di mana-mana, orang-orang Cina biasanya beragama Konghucu atau Budha. Namun, belakangan banyak ditemukan agama mereka yang sudah berpindah ke Katolik maupun protestan karena alasan-alasan strategis pragmatis, seperti keamanan dan ketenteraman, utamanya dalam berbisnis. Di mana-mana orang-orang Cina juga dimusuhi oleh penduduk setempat termasuk penduduk Islam di Madura karena perbedaan agama. Oleh karena itu, sangat wajar apabila sentra orang-orang Cina itu lebih memilih bertahan di perkotaan karena akan lebih aman dan lebih mudah melakukan aktivitas ekonomi. Dengan kegigihan dalam berniaga, hampir di seluruh perkotaan Madura orang-orang Cina menguasai ekonomi dan pasar strategis yang berpusat di kota.
Fakta itu setidaknya bisa dipahami secara jamak. Namun, suatu hal yang cukup unik, bahwa di masyarakat Cina di Kecamatan Pasongsongan ini sudah Muslim, hidup di perkampulan muslim, berbaur dengan masyarakat Muslim asli Madura. Sebuah pertanyaan mungkin akan muncul, mengapa orang-orang Cina bisa hidup di kampung yang jauh dari perkotaan? Lalu mengapa juga mereka beragama Islam, padahal pada umumnya orang-orang Cina beragama Konghucu?
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Moh. Ali Al-Humaidi menunjukkan bahwa orang-orang Cina memang selalu terdiskriminasi secara ras. Dengan begitu, secara pragmatis apabila ingin bertahan di daerah-daerah pedalaman, maka mau tidak mau harus menjalani akulturasi dengan budaya dan agama setempat. Sehingga bisa saja menjadi alasan perpindahan agama kepada Islam adalah karena alasan pragmatis. Namun demikian, hasil observasi Ali Al-Humaidi ini mencatat, bahwa orang-orang Cina di kampung ini sudah Muslim dari nenek moyang mereka.
Diceritakan, nenek moyang mereka masih bermarga King, sehingga nama depan mereka memakai “K”, merupakan santri dari Sunan Ampel. Ia bernama Kingpangkeng yang makamnya saat ini di Ampel Surabaya. Ia diambil menantu oleh kerajaan Sriwijaya yang kemudian mempunyai dua orang putri, yaitu Teisi dan Caul. Caul dinikahkan dengan sepupunya yang bernama Biangseng. Akhirnya Caul meninggal dan kemudian Biangseng dinikahkan dengan adiknya yaitu Teisi. Dari pasangan Biangseng dan Tiesi kemudian dikaruniai anak bernama Cabun. Setelah meninggal, Biangseng oleh Sriwijaya dikuburkan di Ampel dan diberi gelar Tumenggung Ongkowijoyo. Orang-orang Pasongsongan mengklaim bahwa Ongkowijoyo yang berguru langsung ke Sunan Ampel itu adalah nenek moyang mereka. Mereka menyebutnya dengan “Pujuk Ampel”.
Menurut hasil observasi ini, proses migrasi etnis Cina ke Sumenep diperkirakan pada abad ke 14. Sebagian keturunan Biangseng kemudian diambil menantu oleh kerjaan Sumenep di masanya Aria Wiraraja karena Biangseng sendiri adalah dari kalangan Bangsawan Cina sehingga mudah diterima oleh keluarga kerajaan Sumenep. Orang-orang Cina keturunan di kampung ini meyakinkan bahwa, nenek moyang mereka ini merupakan murid langsung dari Sunan Ampel di Surabaya. Tidak hanya itu, disebutkan juga bahwa ketika menetap di Pasongosngan, di sana juga terdapat Murid Sunan Ampel yang lain yang bernama Kyai Ali Akbar yang kemungkinan besar dikirim untuk menyebarkan dakwah Islam dan sesepuh Cina itu menambah ilmu keislamannya kepadanya. Bersama ulama ini Islam disebarkan di daerah Pesisir utara Madura.

Peran Sunan Kudus di Pamekasan
Pamelingan adalah nama kerajaan kecil sebelum nama Pamekasan. Kerajaan sebelah Barat Sumenep ini mempunyai Raja yang dikenal sangat bijak, negarawan dan ahli strategi. Ia dikenal dengan Panembahan Ronggosukowati. Keislamannya sejak ia masih remaja. Tercatat bahwa masa remajanya Ronggosukowati pernah Nyantri kepada Sunan Giri atau yang dikenal dengan Raden Paku. Setelah dewasa dan ilmu yang dia dapatkan terasa cukup maka segera kembali ke Pamelingan untuk menggantikan posisi ayahandanya yang sudah usia lanjut. Namun, sebagaimana disebutkan di atas, kepulangannya tidak sendirian. Sunan Giri berinisiatif mengirimkan juru dakwah yang nantinya akan mendampingi Ronggosukowati menyiarkan Islam kepada masyarakat Pamelingan. Juru dakwah itu kemudian dikenal dengan Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bil Faqih.
Tentu saja Sunan Giri sangat mengerti proses Islamisasi di Pamekasan akan lebih maksimal jika dibantu oleh seorang “misionaris” (da’i) yang mempuni. Sayyid Abdurrahman sebagai utusan Sunan Giri memainkan peranan yang penting di sini. Tentu saja dengan kemahirannya rakyat Pamekasan dengan cepat menerima dakwah yang dikembangkannya. Maka wajar apabila keberpihakan Ronggosukowati terhadap dakwah itu sangat dibantu oleh Sayyid Abdurrahman. Sang juru dakwah ini akhirnya dikawinkan dengan keluarga kraton agar tidak meninggalkan Pamekasan nantinya.
Sebagai keturunan Arab, dialah yang memelopori pemukim Arab di Pamekasan ini. Kemudian keturunan-keturunannya banyak melakukan perkawinan dengan penduduk setempat sehingga mempercepat proses akulturasi dan mempermudah penyebaran Islam di kalangan penduduk. Bahkan, pembauran besar-besaran antara orang-orang Arab dengan masyarakat di Pamekasan khususnya dan di Madura pada umumnya terjadi pada abad-abad berikutnya, khususnya setelah terusan Suez mulai dibuka pada tahun 1869, di mana waktu itu para pemuka-pemuka Islam di Nusantara, termasuk Madura memperoleh kemudahan belajar langsung ke negara-negara Arab, khususnya di Mekkah al-Mukarramah. Demikian juga, waktu itu arus orang-orang Arab dari Hadramaut yang tentunya dengan para da’inya semakin banyak masuk ke Indonesia. Tidak terlupakan Madura menjadi salah satu tujuan mereka. Bahkan, pemuka-pemuka dari Arab itu menetap di Pamekasan dan menjadi penyiar agama Islam yang terkemuka.

Kesimpulan
Walaupun secara empiris bukti sejarah tidak terlalu terang dalam proses Islamisasi Madura periode awal ini, yaitu sebelum Madura ditaklukkan oleh Sultan Agung Mataram pada abad 16 ke atas, namun sejauh ini bisa disimpulkan bahwa orang-orang Madura bermigrasi dari agama primitif mereka, yaitu Hindu-Budha, kepada agama yang sama sekali baru dan mencerahkan, yaitu Islam, dengan cara yang damai tanpa pertumpahan darah setetes pun. Tentu saja itu karena daya magnet agama fitrah itu terlalu kuat. Itu menandakan ada kebutuhan sanubari yang mendalam yang belum tersalurkan sebelumnya.
Para penyiar Islam datang ke Madura pada waktu yang tepat. Yakni ketika kemapanan Majapahit dengan Hindu-Budanya sudah sedemikian lemah waktu itu, sehingga terasa perlu mencari alternatif-alternatif, dan keluarga-keluarga bangsawan kerajaan dibiarkan saja dan tidak dihalang-halangi bermigrasi ke agama lain. Seiring dengan itu, pesona agama Islam memang memikat semua orang tawaran worldview yang menakjubkan.
Hilir mudik para da’i dari Hadramaut maupun dari negara-negara Arab lainnya menandakan ada usaha Islamisasi yang serius dan terencana dari mereka. Prosesnya pun tergolong unik karena mereka datang bukan dengan pedang. Tapi mereka datang dengan agama dan peradaban yang mendamaikan dan menenteramkan.
Oleh karena itu, tak jarang para da’i diterima menjadi menantu oleh raja-raja. Proses seperti ini menjadi salah satu strategi penting dalam Islamisasi, termasuk di Madura, seperti kisah Sunan Paddusan yang menjadi menantu Jokotole di Sumenep dan kisah Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bil Faqih yang menjadi akhirnya menjadi bagian dari keluarga Ronggosukowati di Pamekasan.
Dilihat dari pola penyebarannya, sangat layak diduga bahwa Islam disebarkan dengan pengiriman juru dakwah ke berbagai tempat, utamanya yang sudah ramai, dengan berbagai media dan cara, mulai dari media perniagaan, silang budaya, dan tentunya tebar pesona worldview Islam. Tentu agama baru yang disiarkan mesti mempunyai keunggulan-keunggulan lebih dari agama primitif masyarakat, mulai cara hidup, tingkah laku, pola interaksi, pola pikir, bahkan dari sisi kecanggihan teknologi. Semua itu agama baru yang mereka bawa ini ternyata memberikan harapan.
Namun demikian, Islamisasi periode awal ini masih menyisakan pertanyaan, apakah seratus persen penduduk Madura berhasil diislamkan? Tentu saja ini perlu kajian lebih detail dan mendalam lagi. Namun, patut diduga, bahwa periode awal ini tidak seluruhnya bermigrasi ke agama Islam. Oleh karena itu, sangat tepat Sultan Agung Mataram menginisiatif menguasai pulau Garam ini agar yang beragama primitif tak tersisa lagi. Namun sayangnya, sumber-sumber sejarah didominasi oleh rujukan penjajah Belanda, sehingga tergambarkan bahwa Mataram bengis dan brutal di Madura. Mataram datang dengan haus darah dan kekuasaan. Wallahua’lam, hanya Allah yang tahu semua itu. Namun yang pasti diketahui semuanya bahwa seratus persen orang Madura berislam sebagai hasil dari usaha gemilang Islamisasi oleh para da’i-da’i cemerlang. (Agus Lempar)
Di kutip dari :
Abdurachman, Sejara Madura, selayang Pandang (Sumenep: tanpa penerbit, 1971).
Aminuddin Kasdi, Perlawanan Penguasa Madura atas Hegemoni Jawa (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2003).
Aswab Mahasin, Ruh Islam dalam Budaya Bangsa (Jakarta, Yayasan Festival Istiqlal, 1996).
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Bandung: Mizan, 1999).
Bambang Hartono Hs, Sejarah Pamekasan: Panembahan Ronggosukowati Raja Islam Pertama di Kota Pamekasan-Madura (Sumenep: Nur Cahaya Gusti, 2001).
Bernard H. M. Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia (Jakarta: Gramedia, 2008).
H.J De Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Espansi Sultan Agung (Jakarta: Pustaka Grafiti, 1990).
____________, Awal Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senapati (Jakarta Utara: Pustaka Grafitipers, 1987).
Huub de Jonge, Madura dalam Empat Zaman: Pedagang, perkembangan Ekonomi, dan Islam, Suatu Studi Antropologi Ekonomi (Jakarta: Gramedia, 1989).
Lik Arifin Mansrnoor, Islam in an Indonesian World Ulama of Madura (Yogyakarta: Gadjah mada University Press, 1990).
Muhammad Syamsu As, Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya (Jakarta: Lentera, 1999).
Muh. Ali Al-Humaidi, Cina Dalam Bingkai Islam Pesisir, (Pamekasan: STAIN Pamekasan, 2010).
Pamekasan dalam Sejarah (Pamekasan: Kantor Arsip Daerah Kabupaten Pamekasan, 2003).
Slamet Mestu, Pemakaman Raja-Raja Bangkalan: Makam Aer Mata (Bangkalan: Kasi Kesenian, Pengemb. Bahasa dan Budaya, Dinas P dan K, 2003).
Sejarah Sumenep (Sumenep: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Sumenep, 2003)
Sejarah Sumenep (Sumenep: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, 2003).
Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam Syed Muhammad Naguib al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu (Kuala Lumpur: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia, 1972).
Tiar Anwar Bachtiar, dkk. Sejarah Nasional Indonesia Perspektif Baru, (Bogor: Aiems, 2002).
Thomas Stamford Raffles, The History of Java (Yogyakarta: Narasi, 2008).

Posting Komentar

Recent Posts

Label

Archive

Infos

More Text

Labels

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

About Me

Agus Lempar
Ada Dan Selalu Siap Untuk Anda...
Lihat profil lengkapku

Followers

Popular Posts

Blogger templates

 

Blogger news

Blogroll

About