Dahulu kala ketika masing-masing daerah di Madura
dipimpin oleh seorang raja, Blega dipimpin oleh seorang pangeran namun dibawah
kendali kerajaan Arosbaya yang dikuasai oleh pangeran pratano (ki lemah duwur).
Setelah wafatnya ki pratano (ki lemah duwur), tahta kerajaan Arosbaya
diwariskan kepada puteranya yaitu Pangeran Tengah pada tahun 1592 – 1620 dan
yang menjadi raja di kerajaan Blega saat itu ialah Pangeran Blega pada tahun
1593 – 1624.
Di saat kedua kerajaan tersebut berada dalam
punjak kejayaan, timbullah kesalah pahaman antara Pangeran Blega dan Pangeran
Tengah. Masalahnya pun termasuk sepele yaitu Pangeran Blega telat membayar
upeti terhadap Pangeran Tengah karena status kerajaan Blega yang masih di bawah
kekuasaan kerajaan Arosbaya, jadi sudah seharusnya Pangeran Blega membayar uang
upeti tiap tahun kepada Raja Arosbaya (Pangeran Tengah).
Pada tahun berikutnya pun Pangeran Blega
terlambat membayar uang upeti. Pangeran Tengah kemudian mengutus anak buahnya
untuk pergi ke kerajaan Blega guna menagih uang upeti tersebut. Utusan kerajaan
Arosbaya pun pergi, ketika mereka hampir sampai di pintu gerbang untuk masuk ke
kerajaan Blega (tempatnya sekarang dinamakan desa “bates” atau “batas” dalam
bahasa Indonesia), penjaga gerbang perbatasan rupanya sudah menyadari
kedatangan mereka. penjaga pintu gerbang tersebut melihat iring-iringan para
utusan yang menunggang kuda lengkap dengan senjatanya. Seketika itu pula mereka
menunggangi kudanya dengan sangat kencang menuju ke keraton Blega. Sesampainya
di hadapan Pangeran Blega, ke dua prajurit penjaga pintu gerbang memberi tahu
bahwa ada airing-iringan prajurit banyak sekali dan lengkap dengan senjatanya.
Setelah mendengarkan apa yang disampaikan kedua prajuritnya, Pangeran Blega
menyuruh patih kepercayaannya yaitu pangeran macan putih untuk pergi ke
perbatasan dan menemui iring-iringan tersebut. Sesampainya disana, pangeran
macan putih menemui iring-iringan prajurit itu.
Pangeran macan putih bertanya, “ada apa gerangan
yang membuat prajurit sebanyak ini datang ke kerajaan ini lengkap dengan
senjata?”
Salah satu dari prajurit kerajaan Arosbaya
menjawab, “kami utusan dari kerajaan Arosbaya datang kesini guna menagih uang
upeti kerajaan ini,”
“apakah layak mendatangkan prajurit sebanyak ini
hanya untuk menagih uang upeti? Menurut saya, seharusnya dua orang saja cukup,”
sergah pangeran macan putih.
“ kami tidak mau tahu, ini perintah. Biarkan kami
masuk!” kata prajurit Arosbaya seraya memaksa untuk menerobos pintu perbatasan.
“oh, kalau begitu langkahi dulu mayat saya, baru
kalian boleh masuk..!” ucap pangeran macan putih sambil menghadang
prajurit-prajurit tersebut.
Kemudian terjadilah pertempuran antara 3 prajurit
kerajaan Blega dan sekumpulan prajurit kerajaan Arosbaya. Tentu dengan jumlah
yang tidak sepadan, salah satu kubu akan menang mudah. Dan seolah tahu apa yang
akan terjadi, pangeran macan putih menjelma menjadi macan putih kembar dan
bersama 2 prajurit lainnya ia mengamuk sehingga prajurit Arosbaya banyak yang
terbunuh, dan prajurit lain yang selamat pun melarikan diri dan kembali ke
Arosbaya. Keadaan pun tenang, pangeran macan kembali ke sosok manusianya dan ia
beserta 2 prajurit lain menghadap kepada Pangeran Blega guna melaporkan apa
yang telah terjadi. Setelah dirasa aman, kedua prajurit penjaga gerbang pun
kembali melakukan tugas mereka. Tak lama setelah itu sekitar jam 03.00 sore
penjaga gerbang itu mendengar kabar dari luar bahwa ada sekumpulan prajurit
yang jumlahnya berkali-kali lipat lebih banyak dari sebelumnya datang dari arah
Arosbaya menuju ke perbatasan Blega.
Anehnya, prajurit-prajurit itu datang dengan
amukan yang semakin menjadi-jadi. Tanpa pandang bulu, anak kecil, orang tua,
dan siapapun yang berada di hadapan mereka akan menjadi sasaran amukan. Puluhan
orang terbunuh. Prajurit penjaga pintu gerbang langsung menunggang kudanya
kencang sekali menuju keraton Blega begitu mendengar kabar berita itu. Prajurit
itu melapor pada Pangeran Blega tentang apa yang ia dengar dari rakyatnya.
Pangeran Blega sangat terkejut mendengar hal itu, dengan mendadak dan tanpa
persiapan apapun seketika itu juga Pangeran Blega memerintah pangeran macan
putih untuk memimpin perang.
Dengan keadaan yang tidak siap itu, maka ketika
prajurit-prajurit Arosbaya datang menyerang, pasukan kerajaan Blega menyambut
mereka dengan jumlah yang seadanya dan dipimpin oleh pangeran macan putih.
Kiyai panombak dan prajurit-prajurit Blega pun mengamuk sehingga terjadilah
peperangan sengit. Dikisahkan pula ketika semua kuda terpakai olah
masing-masing prajurit, seorang prajurit kerajaan Blega mengambil gidang
(kuda-kudaan dari gedek) dan langsung mengamuk kea rah prajurit Arosbaya. Dan
ajaibnya gidang tersebut berubah menjadi kuda perkasa.
Di dalam peperangan itu, banyak prajurit yang
terbunuh, salah satunya ialah pangeran kambeng yang terbunuh dan mengambang di
desa sabbeggen (makamnya dinamakan makam pangeran kambeng). Namun dengan amukan
pangeran macan putih dan semua kesatria kerajaan Blega juga kiyai panombak
mampu membuat sebagian prajurit melarikan diri.
Makam pangeran macan putih terletak di kampung
Karang Kemasan Blega. Tempat bersejarah ini banyak dikunjungi oleh para pelajar
yang ingin meliput tentang kejadian historisnya atau sedang mempelajari sejarah
dan kebudayaan Madura. Selain makam pangeran macan putih ada juga makam
prajurit yang menghidupkan lampu sebagai tanda peringatan akan adanya perang.
Makam tersebut dinamakan Makam Pademaran; pademaran ialah bahasa Madura dari
lampu minyak (penerangan, lampu). Ada pula makam seorang prajurit yang menabuh
kenong untuk mengerahkan pasukan. Makam tersebut dinamakan Makam Pangeran
Kenong dan terletak di kampung Mandala desa Nyormanis. Kemudian ada makam
Pangeran Gidang yang diberi nama makam Pangeran Gidang Tengah dan terletak di
kampung Tandereh desa Blega Oloh.
Dikisahkan bahwa yang memimpin perang prajurit
Arosbaya tersebut ialah pangeran Siding Gili, kakak tertua dari Pangeran Blega
dan beragama budha. Setelah kalah perang, pangeran Siding Gili melarikan diri
ke pulau Mandangin yaitu pulau di sebelah selatan kabupaten Sampang. Sampai
sekarang pulau tersebut diberi nama pulau Gili Mandangin. Dan dikisahkan pula
bahwa Pangeran Blega tidak membayar uang upeti atau sampai terlambat
membayarnya karena Pangeran Blega berpendapat bahwa beliau di utus untuk
mengajak orang-orang Blega untuk memeluk agama islam. Dan rupanya itulah yang
menjadi titik kesalah pahaman bagi pangeran Siding Gili hingga memicu
peperangan yang dahsyat.
Makam Agung Pangeran Macan Putih yang berlokasi
di Kampung Karang Kemasan. Makam tersebut merupakan makam seorang patih dari
kerajaan Blega yakni Patih Macan….
(AL/Sapekerap.blogspot.com)